Teng, teng! Bel tanda istirahat, murid-murid pun keluar kelas dan menuju kantin. Namun beda dengan Rindu, ia langsung menuju perpustakaan. Ia salah satu siswa kebanggaan di sekolahnya. Selain pintar ia juga selalu mengikuti lomba-lomba di sekolah atau di luar sekolah, hal ini membuat orang tua dan para guru di sekolahnya bangga.
Rindu Assyifa, begitulah nama panjangannya. Ia tinggal bersama ibunya, sedangkan ayahnya telah meninggal dunia saat umurnya beranjak delapan tahun. Semenjak ditinggal ayahnya, keluarganya hidup dengan kesederhanaan. Tidak seperti dulu, saat ayahnya belum meninggal dunia, hidup mereka benar-benar sangat royal. Rindu yang selalu dimanja, apa yang ia pinta, selalu dituruti orang tuanya. Namun sekarang semuanya tidak seperti dulu lagi dan Rindupun mengerti akan keadaan hidupnya yang sekarang ini.
***
“ Bu,obatnya sudah diminum?” tanya Rindu pada ibunya.
“Udah nak, kamu udah makan belum?” perhatian balik ibunya.
“Udah bu, ya udah sekarang ibu tidur yah, Rindu mau belajar,” ucap Rindu sambil menyelimuti ibunya.
Sejak ayah pergi, ibu Rindu sering sakit-sakitan, sampai suatu hari ibu Rindu jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saat itu Rindu benar-benar sangat down, karena memikirkan ibunya.
“Rindu takut kehilangan ibu,” ucapnya sambil memeluk ibunya yang terbaring lemah. Tiba-tiba dari belakang, “Ndu salat dulu sana, biar paman yang nungguin ibu kamu,” ucap paman Rindu yang begitu baik pada keluarganya. Dan Rindu pun langsung beranjak dari kursi yang ia duduki, kemudian menuju ke belakang untuk mengambil air wudhu.
“Ya Tuhan, sembuhkanlah ibu Rindu secepatnya, Rindu nggak pengen liat ibu sakit-sakitan terus,” doa Rindu untuk ibunya dan ia pun bersujud dan menangis.
Seminggu di rumah sakit, akhirnya ibu Rindu diperbolehkan untuk pulang. Rindu bersyukur karena ibunya sudah mulai membaik dari sebelumnya dan Rindu pun dapat fokus kembali pada sekolahnya.
Karena penyakit ibu Rindu yang gampang kambuh, sekitar jam sebelas malam, ibu merintih kesakitan. Rindu pun bangun dari tidurnya. Karena sudah malam Rindu hanya bisa menemani ibunya dan mengompres badan ibunya yang panas itu.
“Seandainya saja ayah masih ada, mungkin aku tak akan kebingungan seperti ini. Ya Tuhan, sembuhkanlah ibuku. Janganlah kau ambil ibuku, Rindu tidak bisa hidup tanpanya, cukup ayah yang engkau panggil Tuhan,” ucap rindu menangis.
Pagi pun tiba, hari ini Rindu izin, karena ia harus mengantarkan ibunya ke rumah sakit. Seperti biasa dokter hanya memberi obat yang biasa ibunya minum.
***
Setahun kemudian….
Rindu telah lulus, ia melanjutkan kuliahnya dan ia mengambil jurusan kedokteran. Rindu dari kecil memang telah bercita-cita menjadi dokter, maka dari itu ia sengaja mengambil jurusan ini. Karena tidak mau terlalu menyusahkan pamannya, Rindu kuliah sambil kerja. Walaupun hasilnya tidak seberapa, namun lumayan buat menambah biaya kuliahnya.
Gaji pertamanya ia belikan kalung. Kalung ini sebagai kado buat ibunya, karena ibunya besok akan berulang tahun. Rindu senang karena dapat memberikan kado pada ibunya dan berharap ibunya senang menerima kado darinya. Apalagi ini hasil dari keringatnya sendiri. Selain kalung, ia juga membelikan kue ulang tahun yang di atasnya bertulis “love you ma” dan berdiri lilin merah yang berbentuk angka 45.
Di atas angkot, ia duduk menuju rumah sambil membawa kue ulang tahun yang ia beli setelah pulang kerja tadi. Selang beberapa saat, sampailah ia di rumah sederhanya itu dan langsung menuju kamar ibunya.
“Happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you bu,” nyanyian ulang tahun untuk ibunya yang terbaring lemah. Namun ibu Rindu tak menghiraukan Rindu. Rindu pun menaruh kue di meja.
“Bu…Bu…bangun,, nih Rindu bawain kue buat ibu,” kata Rindu mencoba membangunkan ibunya.
“Buu,,jangan becanda dong bu, ibu nggk kenapa-napa kan? Iibu baik-baik aja kan?”
Tak berubah, ibu rindu hanya diam. Ternyata ibunya telah pergi untuk selamanya, Rindu berteriak dan menangis. “Buu, jangan pergi. Rindu butuh ibu,” tangis Rindu.
Esoknya ibu rindu dimakamkan, rindu terdiam lemah. Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya.
Setelah ibunya pergi, Rindu diasuh oleh pamannya. Namun terkadang ia selalu minta diantarkan ke rumahnya yang dulu ia tinggali bersama ibunya. Di sana ia selalu merenungi pada saat susah maupun senang bersama ibunya. “Bu, rindu kangen ibu, rindu nggak bisa hidup tanpa ibu, rindu pengen ketemu ibu,” ucapnya sambil meneteskan airmatanya.
Meskipun ia sekarang telah hidup enak dengan pamannya, Rindu tetap saja selalu bersedih. Langkah Rindu pun merapuh saat ibunya telah tiada.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar