Halaman

Sabtu, 17 Maret 2012

Detik Terakhir Sahabatku


Rahmad Dian Perdana, sahabat terbaikku, namun kini ia telah tiada. Dian telah meninggal dunia dua tahun yang lalu, saat kami masih duduk di bangku kelas tiga Smp. Dian anak tunggal dari Pak Dika dan Ibu Astri, dari keluarga terpandang.
 Persahabatan ku dengan Dian dimulai saat Masa Orientasi Siswa (MOS) saat SMP. Saat itu kami begitu dekat, bisa dibilan kami ini seperti kakak adik karena keakraban kami. Kami berdua juga mempunyai hobi yang sama. Aku dan Dian senang
 bermain alat musik, kami suka mengisi acara sekolah, bahkan kami berdua juga pernah memenangkan juara satu dalam
 festival musik. Kamipun semakin semangat buat menjadi musisi terkenal.
Di mataku sosok sahabatku ini begitu baik, ramah, sopan, periang juga dewasa. Bahkan ia bisa menutupi penyakit yang
 bersarang di tubuhnya pada semua orang dengan keriangannya itu. Awalnya aku tak mengetahui penyakit apa yang telah dideritanya selama hampir tiga tahun itu. Namun suatu ketika tante Astri, mama Dian, mengajakku ke Café Fibonacci’, tempat di mana keluarga mereka biasa berkumpul. Malam itu hanya aku dan tante Astri yang makan malam di sana. Tidak seperti biasanya tante Astri mengajakku ke Café ini, sepertinya ada hal yang serius yang ingin ia bicarakan padaku.
“In, kamu mau makan apa?” tanya tante Astri padaku.
“Hm, Indah minum aja deh tante, soalnya indah nggk laper,” jawabku.
“Loh?? Kok gak laper?” tanya tante Astri lagi. “Iya, soalnya tadi sore sempet makan tante,” jawabku kembali.
“Oh, ya udah deh tante juga pesen minum aja kalo gitu,” kata tante Astri sambil memanggil pelayan Café. Saat itu tiba-tiba suasana menjadi hening, “Hmm, tante? Tante kenapa diam?” tanyaku pada tante Astri. “Nggak apa-apa kok In, tante cuma pengen cerita aja sama kamu,” jawab tante Astri dengan muka serius. “Ya udah tante, Indah mau kok dengerin tante cerita, tante mau cerita apa ke indah?”
“Ini In, selama ini mungkin kamu enggak pernah tahu tentang penyakit yang diderita Dian,” kata tante Astri. “Ha? Dian sakit?
 Sakit apa tante? Dian sakit apa?,” tanyaku mendesak tante Astri. Namun tante astri diam, tampak air mata yang mengalir pelan dipipinya. “Tante jawab dong, Dian sakit apa? Tante jangan nangis, Indah jadi ikut sedih nih,” kataku sambil memegang tangan tante Astri. “Dian, Dian sakit kanker darah In, sejak usianya menginjak kesepuluh tahun ia telah mengidap kanker darah, tante dan om udah usaha buat penyembuhan Dian. Dian sempet sembuh setelah menjalani kemhoterapy dua tahun yang lalu, namun beberapa bulan kemudian ini penyakit itu datang lagi, tante nggak kuat melihat anak tante satu-satunya sakit-sakitan terus In,” kata tante Astri padaku.
“Astaufirullah, tante yang kuat yah, terus berdoa buat kesembuhan Dian, Indah  yakin semua ini ada hikmahnya,” kataku sambil memeluk tante Astri. Namun tante Astri terus menangis. Hingga tepat pukul sepuluh malam, kami pun pulang. Saat di perjalanan, tante Astri hanya diam dan fokus menyetir. Rasanya aku ingin mengajak ia berbicara namun aku segan. Setengah jam dalam perjalanan akupun sampai di depan rumahku, “Makasih ya tante, tante jangan sedih lagi, Indah janji, Indah bakalan nyenengin Dian, supaya Dian tetep semangat. Tante hati-hati di jalan ya,” kataku sambil mencium tangan tante Astri.
 “Makasih ya In,” kata tante Astri sambil mengelus kepalaku.  
Sampai di kamar akupun langsung menukar pakaianku dengan baju tidur dan langsung menuju halaman atas. Memandangi bintang-bintang yang begitu berserakan di langit sana, namun tetap tampak indah dengan cahaya terangnya.
“Dian, aku sayang kamu. Aku harap kamu kuat dengan cobaan ini, aku juga yakin kamu pasti bakalan sembuh, dan kita bisa jadi bintang yang bersinar terang . Seperti hal yang kamu inginkan, menjadi musisi terkenal, aku yakin kita bisa''.
“Tuhan berilah ia hidup, buat lah ia tetap semangat dengan cobaan yang kau beri, kami semua begitu menyanyanginya, jadi janganlah kau mengambilnya dari kami, orang-orang yang begitu menyayanginya,’'  kataku sambil menatap langit malam.
Namun harapan itu semakin pudar saat Dian lagi dan lagi terbaring lemah di rumah sakit. Ketika itu aku tak dapat di
 sampingnya, karena saat itu aku sedang menjalankan UN. Saat menjalankan UN, aku tak begitu dapat fokus, pikiran ku
 begitu bercampur aduk, sahabatku sedang terbaring lemah. Bagaimana keadaanya sekarang? Apa dia agak membaik, apa semakin memburuk keadaanya? “ Ya Allah sudahlah, tenangkan pikiranku. Aku jugak sedang menjalankan tugas sekolahku yang menentukan aku lulus atau tidaknya,''.
Namun aku tak dapat menahan keresahan aku saat itu hingga setetes air mata jatuh ke lembar jawaban ku. Suasana ujianku pun semakin kacau, aku segera menukar lembar jawabanku dan langsung menyalin ulang jawabanku semua.
 Bel tanda pulang pun terdengar, aku langsung meninggalkan ruangan itu, dan  bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit, tampak tante Astri menangis di bahu om Dika. Dan akupun langsung mendekati mereka berdua. “Tante? Tante kenapa?” tanyaku begitu panik. “Dian koma In,” jawab Om Dika, sedangkan tante Astri terus menangis. “Ya Allah, Indah pengen ketemu Dian om, Indah masuk ya,” kataku langsung membalikan badan. Tetapi tangan om Dika langsung
 memegangku dan berkata,  “Jangan nak, dokter sedang berusaha untuk keselamatan Dian,”  akupun  lesu dan duduk di
 samping orangtua Dian.
Lima belas menit kemudian, tampak dokter keluar dari ruang ICU dengan muka lesu. Pemandangan itu semakin membuat
 kami takut, namun kami tak tinggal diam, kami segera menghampiri dokter itu, “Gimana pak dengan anak saya?” tanya Om Dika. “Maaf pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun takdir berkata lain, anak bapak tidak bisa kami selamat kan lagi,” mendengar itu akupun langsung menerobos dokter dan masuk ke ruang ICU.
“Yan, Dian bangun, bangun Dian. Kamu pasti masih kuat, bangun dong Dian, kita mau sukses bareng-bareng kan? Kita mau jadi musisi terkenal, bangun dong Yan, jangan tinggalin kami semua, kami sayang kamu Dian, kamu pasti kuat buat ngejalanin cobaan ini. Diaaaaan bangun,” kataku sambil menangis kuat, hingga setetes air mata dariku jatuh ke pejaman matanya.
Subhanallah suasana menjadi hening, saat perlahan Dian membuka matanya, dan tersenyum pada kami. Tetapi senyuman itu hanya sebentar terlontar darinya dan Dian kembali menutup matanya, tangisan kami pun semakin menjadi, dan tante Astri pingsan  karena tersadar Dian memang telah benar-benar pergi untuk selamanya.
Hari itu juga Dian dimakamkan, begitu banyak yang ikut melayat, semua merasa kehilangan sosoknya. Sosok Rahmad Dian Perdana yang begitu ramah, baik, juga periang. Apalagi orangtuanya, mereka benar-benar sangat kehilangan anaknya, anak satu-satunya. Walaupun begitu mereka tetap harus mengikhlaskan kepergian anaknya.
Setelah selesai,  satu per satu pelayat pergi dari makam Dian. Tetapi aku, Om Dika juga tante Astri masih saja duduk di
 sebelah makam Dian, rasa tak ingin pergi dari tempat itu. Tapi hujan tiba-tiba datang menguyur kami, Om Dika dan tante
 Astri segera berteduh. Aku tetap diam disamping makam Dian dalam guyuran hujan yang begitu deras,
“Dian, kau sahabat terbaikku. Tenang di sana ya, tidurlah yang lelap, kami semua bakalan mendoakanmu selalu Dian,” kataku menangis memeluk papan nisan Dian.
***
Dua tahun berlalu, setelah lulus dari SMP akupun melanjutkan sekolahku keluar kota. Makanya pada saat liburan ini aku
 kembali ke Batam untuk berlibur. Aku sempatkan kembali ke makamnya Dian, dengan bekal sebotol air dan bunga-bunga
 juga gitar yang kubawa dari rumah. Sesampai di sana segera kubasahi makam Dian dengan sebotol air juga kutaburkan
 bunga-bunga yang kubawa dari rumah tadi, kukirimkan doa untuknya, dan lantunan nyanyian untuk sahabatku dengan iringan gitar akustik ku. Nyanyianku untukmu Rahmad Dian Perdana “sahabat terbaikku”.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright@ All Rights Reserved Yuni-Fibonacci.blogspot.com