Rahmad Dian Perdana, sahabat
terbaikku, namun kini ia telah tiada. Dian telah meninggal dunia dua tahun yang
lalu, saat kami masih duduk di bangku kelas tiga Smp. Dian anak tunggal dari
Pak Dika dan Ibu Astri, dari keluarga terpandang.
Persahabatan ku dengan Dian
dimulai saat Masa Orientasi Siswa (MOS) saat SMP. Saat itu kami begitu dekat,
bisa dibilan kami ini seperti kakak adik karena keakraban kami. Kami berdua
juga mempunyai hobi yang sama. Aku dan Dian senang
bermain alat musik, kami suka
mengisi acara sekolah, bahkan kami berdua juga pernah memenangkan juara satu
dalam
festival musik. Kamipun
semakin semangat buat menjadi musisi terkenal.
Di mataku sosok sahabatku ini begitu
baik, ramah, sopan, periang juga dewasa. Bahkan ia bisa menutupi penyakit yang
bersarang di tubuhnya pada
semua orang dengan keriangannya itu. Awalnya aku tak mengetahui penyakit apa
yang telah dideritanya selama hampir tiga tahun itu. Namun suatu ketika tante
Astri, mama Dian, mengajakku ke Café Fibonacci’, tempat di mana keluarga mereka
biasa berkumpul. Malam itu hanya aku dan tante Astri yang makan malam di sana.
Tidak seperti biasanya tante Astri mengajakku ke Café ini, sepertinya ada hal
yang serius yang ingin ia bicarakan padaku.
“In, kamu mau makan apa?” tanya
tante Astri padaku.
“Hm, Indah minum aja deh tante,
soalnya indah nggk laper,” jawabku.
“Loh?? Kok gak laper?” tanya tante
Astri lagi. “Iya, soalnya tadi sore sempet makan tante,” jawabku kembali.
“Oh, ya udah deh tante juga pesen
minum aja kalo gitu,” kata tante Astri sambil memanggil pelayan Café. Saat itu
tiba-tiba suasana menjadi hening, “Hmm, tante? Tante kenapa diam?” tanyaku pada
tante Astri. “Nggak apa-apa kok In, tante cuma pengen cerita aja sama kamu,”
jawab tante Astri dengan muka serius. “Ya udah tante, Indah mau kok dengerin
tante cerita, tante mau cerita apa ke indah?”
“Ini In, selama ini mungkin kamu
enggak pernah tahu tentang penyakit yang diderita Dian,” kata tante Astri. “Ha?
Dian sakit?
Sakit apa tante? Dian sakit
apa?,” tanyaku mendesak tante Astri. Namun tante astri diam, tampak air mata
yang mengalir pelan dipipinya. “Tante jawab dong, Dian sakit apa? Tante jangan
nangis, Indah jadi ikut sedih nih,” kataku sambil memegang tangan tante Astri.
“Dian, Dian sakit kanker darah In, sejak usianya menginjak kesepuluh tahun ia
telah mengidap kanker darah, tante dan om udah usaha buat penyembuhan Dian.
Dian sempet sembuh setelah menjalani kemhoterapy dua tahun yang lalu, namun
beberapa bulan kemudian ini penyakit itu datang lagi, tante nggak kuat melihat
anak tante satu-satunya sakit-sakitan terus In,” kata tante Astri padaku.
“Astaufirullah, tante yang kuat yah,
terus berdoa buat kesembuhan Dian, Indah yakin semua ini ada hikmahnya,”
kataku sambil memeluk tante Astri. Namun tante Astri terus menangis. Hingga
tepat pukul sepuluh malam, kami pun pulang. Saat di perjalanan, tante Astri
hanya diam dan fokus menyetir. Rasanya aku ingin mengajak ia berbicara namun
aku segan. Setengah jam dalam perjalanan akupun sampai di depan rumahku,
“Makasih ya tante, tante jangan sedih lagi, Indah janji, Indah bakalan
nyenengin Dian, supaya Dian tetep semangat. Tante hati-hati di jalan ya,”
kataku sambil mencium tangan tante Astri.
“Makasih ya In,” kata tante Astri
sambil mengelus kepalaku.
Sampai di kamar akupun langsung
menukar pakaianku dengan baju tidur dan langsung menuju halaman atas.
Memandangi bintang-bintang yang begitu berserakan di langit sana, namun tetap
tampak indah dengan cahaya terangnya.
“Dian, aku sayang kamu. Aku harap
kamu kuat dengan cobaan ini, aku juga yakin kamu pasti bakalan sembuh, dan kita
bisa jadi bintang yang bersinar terang . Seperti hal yang kamu inginkan,
menjadi musisi terkenal, aku yakin kita bisa''.
“Tuhan berilah ia hidup, buat lah ia
tetap semangat dengan cobaan yang kau beri, kami semua begitu menyanyanginya,
jadi janganlah kau mengambilnya dari kami, orang-orang yang begitu
menyayanginya,’' kataku sambil menatap langit malam.
Namun harapan itu semakin pudar saat
Dian lagi dan lagi terbaring lemah di rumah sakit. Ketika itu aku tak dapat di
sampingnya, karena saat itu
aku sedang menjalankan UN. Saat menjalankan UN, aku tak begitu dapat fokus,
pikiran ku
begitu bercampur aduk,
sahabatku sedang terbaring lemah. Bagaimana keadaanya sekarang? Apa dia agak
membaik, apa semakin memburuk keadaanya? “ Ya Allah sudahlah, tenangkan
pikiranku. Aku jugak sedang menjalankan tugas sekolahku yang menentukan aku
lulus atau tidaknya,''.
Namun aku tak dapat menahan
keresahan aku saat itu hingga setetes air mata jatuh ke lembar jawaban ku.
Suasana ujianku pun semakin kacau, aku segera menukar lembar jawabanku dan
langsung menyalin ulang jawabanku semua.
Bel tanda pulang pun
terdengar, aku langsung meninggalkan ruangan itu, dan bergegas ke rumah
sakit. Saat tiba di rumah sakit, tampak tante Astri menangis di bahu om Dika.
Dan akupun langsung mendekati mereka berdua. “Tante? Tante kenapa?” tanyaku
begitu panik. “Dian koma In,” jawab Om Dika, sedangkan tante Astri terus
menangis. “Ya Allah, Indah pengen ketemu Dian om, Indah masuk ya,” kataku
langsung membalikan badan. Tetapi tangan om Dika langsung
memegangku dan berkata,
“Jangan nak, dokter sedang berusaha untuk keselamatan Dian,” akupun
lesu dan duduk di
samping orangtua Dian.
Lima belas menit kemudian, tampak
dokter keluar dari ruang ICU dengan muka lesu. Pemandangan itu semakin membuat
kami takut, namun kami tak
tinggal diam, kami segera menghampiri dokter itu, “Gimana pak dengan anak
saya?” tanya Om Dika. “Maaf pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun
takdir berkata lain, anak bapak tidak bisa kami selamat kan lagi,” mendengar
itu akupun langsung menerobos dokter dan masuk ke ruang ICU.
“Yan, Dian bangun, bangun Dian. Kamu
pasti masih kuat, bangun dong Dian, kita mau sukses bareng-bareng kan? Kita mau
jadi musisi terkenal, bangun dong Yan, jangan tinggalin kami semua, kami sayang
kamu Dian, kamu pasti kuat buat ngejalanin cobaan ini. Diaaaaan bangun,” kataku
sambil menangis kuat, hingga setetes air mata dariku jatuh ke pejaman matanya.
Subhanallah suasana menjadi hening,
saat perlahan Dian membuka matanya, dan tersenyum pada kami. Tetapi senyuman
itu hanya sebentar terlontar darinya dan Dian kembali menutup matanya, tangisan
kami pun semakin menjadi, dan tante Astri pingsan karena tersadar Dian
memang telah benar-benar pergi untuk selamanya.
Hari itu juga Dian dimakamkan,
begitu banyak yang ikut melayat, semua merasa kehilangan sosoknya. Sosok Rahmad
Dian Perdana yang begitu ramah, baik, juga periang. Apalagi orangtuanya, mereka
benar-benar sangat kehilangan anaknya, anak satu-satunya. Walaupun begitu
mereka tetap harus mengikhlaskan kepergian anaknya.
Setelah selesai, satu per satu
pelayat pergi dari makam Dian. Tetapi aku, Om Dika juga tante Astri masih saja
duduk di
sebelah makam Dian, rasa tak
ingin pergi dari tempat itu. Tapi hujan tiba-tiba datang menguyur kami, Om Dika
dan tante
Astri segera berteduh. Aku
tetap diam disamping makam Dian dalam guyuran hujan yang begitu deras,
“Dian, kau sahabat terbaikku. Tenang
di sana ya, tidurlah yang lelap, kami semua bakalan mendoakanmu selalu Dian,”
kataku menangis memeluk papan nisan Dian.
***
Dua tahun berlalu, setelah lulus
dari SMP akupun melanjutkan sekolahku keluar kota. Makanya pada saat liburan
ini aku
kembali ke Batam untuk
berlibur. Aku sempatkan kembali ke makamnya Dian, dengan bekal sebotol air dan
bunga-bunga
juga gitar yang kubawa dari
rumah. Sesampai di sana segera kubasahi makam Dian dengan sebotol air juga
kutaburkan
bunga-bunga yang kubawa dari
rumah tadi, kukirimkan doa untuknya, dan lantunan nyanyian untuk sahabatku
dengan iringan gitar akustik ku. Nyanyianku untukmu Rahmad Dian Perdana
“sahabat terbaikku”.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar